PARADIGMA LAMA KECERDASAN BISA TUMBUHKAN KESOMBONGAN INTELEKTUAL

Hingga hari ini, sekolah, guru, dan masyarakat, pada umumnya masih terbelenggu oleh paradigm lama tentang kecerdasan. Orang menganggap bahwa anak/manusia yang cerdas adalah mereka yang ‘pinter’ Matematika, Fisika, IPA atau yang sering dikatakan sebagai ilmu eksakta.

Orang tua akan cenderung lebih bangga ketika anaknya berhasil memasuki Program IPA (ketika di SMA) jika dibandingkan apabila buah hatinya msuk di Program IPS atau Bahasa. Aroma “Kesombongan Intelektual” juga diam-diam muncul dari para siswa Program IPA. Mereka menganggap dirinya lebih unggul dari teman di IPS/Bahasa.

Demikian dipaparkan Sabar Nurohman, M.Pd., Si., dosen Pendidikan IPA FMIPA UNY ketika memberikan materi pada acara Pelatihan Soft Skill Kreativitas bagi Mahasiswa FMIPA UNY. Pelatihan yang diikuti mahasiswa angkatan 2011 dilaksanakan di ruang Seminar FMIPA UNY, Sabtu-Minggu, 14-15/4.

“Sebagian kita menganggap bahwa kesuksesan masa depan seseorang ditentukan oleh sejauh mana kecerdasan oaring tersebut. Parahnya mereka mendefinisikan kecerdasan sebagai kemampuannya di bidang ilmu-ilmu eksakta,” lanjutnya.

Orang tua yang punya uang akan berusaha sekuat mereka untuk membuat anaknya “pintar” ilmu eksak. Mereka ada yang diikutkan les sempoa, tambahan pelajaran di berbagai lembaga bimbingan belajar, atau les privat di rumah.

Berdasarkan penelitian, otak kiri mengendalikan kemampuan verbal, angka, penulisan, sains, rasional dan pengendali anggota gerak tubuh sebelah kanan (tangan kanan, kaki kanan). Sedangkan otak kanan mengendalikan kemampuan di bidang seni, kreativitas, memahami pengertian yang mendalam, bentuk tiga dimensi (seni patung, dll), dan pengendali organ gerak tubuh bagian kiri (tangan kiri, kaki kiri).

Dikatakan, dunia pendidikan kita sejauh  ini lebih banyak sekedar mengolah otak kiri, terbukti dari pilihan mata pelajaran yang diUNkan. Akibatnya, pendidikan kita kurang mampu menghasilkan peserta didik yang kreatif sekaligus kurang manusiawi, karena miskin dengan nilai-nilai seni. Maka lahirlah anak-anak muda yang “pintar”, tapi tidak mampu menggunakan kepintarannya untuk kemaslahatan masyarakat, cenderung egois dan tidak mampu bekerja sama.

“Kalau kita cermati, justru kebayakan orang sukses bukanlah mereka yang pintar di kelas-kelas eksak. Dunia agaknya lebih menghargai mereka yang kreatif daripada mereka yang “pintar”.
Jika gaji professor di Indonesia perbulan sekitar 13 juta, maka orang-orang seperti  Tukul Arwana dan Ahmad Dani sekali manggung tarifnya jauh lebih besar. Profesor saya anggap sebagai representasi “kecerdasan otak kiri” sedangkan Tukul Arwana dan Ahmad Dani mewakilii kecerdasan kreatifitas (creative Intelligence),” tambahnya.  (witono).